Boikot: Antara Ego, Syahwat Sesaat dan Realita

Bukan pertama kali dalam hidupku, ada ajakan boikot terhadap sesuatu produk atau lembaga. Masih ingat di dalam ingatan saya, di sekitar tahun 2004-an, ada ajakan demo menentang adanya pembangunan Malang Town Square (Matos) karena dinilai terlalu mepet dengan area pendidikan di sepanjang Jalan Veteran, Kota Malang. Disana ada Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang hingga SMA bahkan SD dan TK di gang sebelah kanannya Matos ini.

Sikap saya waktu itu? Ego idealisme mahasiswa saya membuncah. Dengan tekad sebulat onde-onde saya memutuskan memboikot Matos, gak akan masuk ke Matos meski apapun yang terjadi. Sampai sekitar 2005, Matos diresmikan dan saya tentu memegang teguh janji boikot yang saya ikrarkan. Janji saya itu pun awet berlaku beberapa minggu, hingga akhirnya secara mendadak saya perlu membeli buah untuk bingkisan yang perlu tersedia dengan cepat. Pacar saya (yang kemudian sekarang jadi istri saya #uhuk) pun menyarankan saya ke Matos saja. Hypermart yang menyediakan aneka kebutuhan termasuk buah segar ada di lowerground Matos, begitu alasan pacar saya yang sudah beberapa kali belanja disana.

Apa respon saya terhadap saran dari pacar saya itu?

“OGAH! Pokoknya aku antipati ama Matos…” Itu tegasku. Kemudian kamipun ke Istana Buah yang terletak di jalan Kawi, Malang. Eh lha kok ya kebetulan jalanan menuju “fruit castle” lumayan macet. Sesampainya disana, kami pun memilih buah. Tanpa sadar, sewaktu membayar, saya nyletuk: “Wah, kok mahal ya?”. Entah karena capek apa jengkel, pacar saya pun ngambek: “Dibilangin ngeyel, toh ada yang lebih deket juga.. pake sok-sok-an boikot”. Saya sih diem aja. Ya namanya kalau kaum hawa udah manyun, mo diterusin gimanapun, kaum adam juga bakal kalah khan.

Udah, kalian para cowok jangan sok bilang “nggak”.. Udah akuin aja, biar cepet selesai. Ok?

Selang beberapa minggu kemudian, saya kok tetiba pengen masuk ke Matos yang ternyata sudah cukup rame. Dan disana ternyata… wah asyik juga. Terus dengan gerakan boikot saya gimana? Batal lah. Lha gimana nggak, seminggu ada 2-3 kali kami ke Matos mulai dari window shopping, belanja beneran hingga nonton bioskop. Addicted? Iya.

Kejadian 2005 yang saya alami itupun sukses membuat flashback ke kenangan beberapa tahun sebelumnya. Di awal-awal masa mahasiswa baru (maba) saya (sekitar 2001/2002), ada namanya boikot aneka fastfood McD, KFC hingga Nestle, Coca Cola dan bejibun produk lainnya. Alasannya apa? Keuntungan dari aneka produk itu konon kabarnya disumbangkan ke Israel untuk membeli peluru. Ada banyak mahasiswa di kampus saya yang berdemo dan mendukung boikot ini. Ternyata saya pun menemukan benang merah antara kejadian saya (2005) dan kejadian ini. Adalah keteguhan hati dalam melakukan boikot yang ternyata susah tuk ditegakkan. Apa buktinya?

Sekitar seminggu setelah demo itu, kebetulan saya ke salah satu gerai fastfood di daerah alun-alun Malang. Eh, sekelompok mbak dan mas yang kapan hari demo berpanas-panasan boikot aneka produk penyumbang peluru itu sedang disana. Mereka demo? Salah. Mereka sedang makan-makan merayakan ulang tahun salah satu rekannya. Hmm jangan-jangan demo mereka kapan hari itu hanya pelampiasan syahwat sesaat doang ya?

“Lhoh! Sampean iku menistakan perjuangan kami!! Yang sampean lihat itu hanya segelintir oknum labil.. Jangan disamaratakan!!” Mungkin itu protes anda ke saya?

Yaelah.. selow sob.. dari awal saya itu cuma nulis pengalaman saya saja. Gak ada paksaan atau sisi lain yang mengharuskan sampean percaya dan menelan mentah-mentah apa yang saya tulis khan ya?

Kemudian sekarang ada ajakan boikot Starbuck karena visi misinya mendukung LGBT? Yakin gitu bakal awet janji boikotmu? Udah deh, Starbuck bakalan tetap ramai dengan atau tanpa boikot dari kalian. Kalian itu generasi yang instagramable. Generasi yang hitz kekinian. Akuin aja deh, kalian pasti bangga dong, bisa minum kopi yang katamu mahalnya level ya-ampun dengan level rasa yang ya-elah itu bareng-bareng temen se geng dan ber-wefie tuk diaplod di Instagram kan? Apalagi pas foto-foto itu, di meja kalian ada MacBook dengan posisi terbuka? Makin hits kan? Eh tahu gak sih kalau CEO Apple, Mr. Tim Cook itu gay?

Eh, jangan-jangan kalian gak tahu kalau Instagram itu udah dibeli Facebook.. yang mana Facebook saja mendukung LGBT? Ya udahlah, lha kamu aja masih punya segunung grup rumpi di WhatsApp atau Line, yang mana keduanya juga mendukung LGBT lhoh. Cek aja sticker dan emoticonnya.

Yakin mau boikot itu semua?

Saya sih bukan pendukung LGBT. Tapi saya tidak anti orang atau lembaga yang pro LGBT. Buktinya? Saya pemakai aneka produk yang saya sebutkan di atas (kecuali MacBook.. belum cukup duit brooo). Lagipula, realita saat ini saya sekolah di Thailand yang notabene banyak penyuka sesama jenis. Di asrama cowok tempat saya tinggal saja ada beberapa pasangan sesama jenis. Di kampus? Banyak bertebaran pasangan tomboy dengan ceweknya yang aduhai cantik yang sering membuat saya berpikir tentang gagalnya kami, kaum cowok dalam menggaet kaum hawa.

Bagi saya, filter itu ada di diri kita masing-masing. Boikot itu silahkan, tapi jangan nanggung. Iya ya Iya. Nggak ya nggak. Ibarat pepatah dari juragan forum sebelah:

Nek wani ojo wedi-wedi. Nek wedi ojo wani-wani*)

*) Kalau berani jangan takut-takut. Kalau takut, jangan berani-berani.

Catatan: ini “late post” kedua.. karena sebenarnya artikel ini dikirimkan ke suatu media online, tapi di-reject. Hahaha

About arigetas 406 Articles
Family man. Ayah dua orang putra yang suka iseng, absurd, guyon receh serta hobi main badminton. Terkadang bisa serius.

6 Comments

    • bener banget Om. Sependek pengetahuan saya, semua memang tak lepas dari politis. Yang sekarang memboikot (dg jenis itu), besok bisa aja mendukung dan sebagainya. Apapun jenis boikot itu, gak abadi. maaf kalau salah.

  1. Duh pacar yang udah jadi istri. Rasanya gimana gitu 😀 *salahfokus. Nafsu dan emosi sesaat sih, nanti kalau kepepet atau terbawa kekinian juga bakal lupa, malah keenakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*