Tulisan tentang kesehatan anak kali ini terbentuk, setelah seorang rekan yang piawai tentang cyber security membahas tentang pengetahuan kesehatan dan tulisan-tulisan blog dengan saya. Sayapun kemudian tertarik ingin menyampaikan pengalaman pahit saya di masa lalu, yang lebih disebabkan oleh kultur budaya di masa itu. Tidak untuk menyalahkan siapapun, tetapi lebih mengambil pelajaran dari hal tersebut.
Kesehatan anak: Orang tua jaman dahulu vs sekarang
Perbedaan utama antara orang tua (ortu) jaman dahulu dengan saat ini adalah tentang akses informasi, termasuk informasi atau pengetahuan kesehatan anak. Saya adalah seseorang yang mempunyai kelainan mata miopi alias rabun jauh yaitu -5.0 mata kiri dan 3.75 mata kanan.
Mungkin anda akan bertanya: “Lho, terus apa istimewanya dengan penderita rabun jauh?”
Nah ini, di masa itu, saya sebagaimana anak-anak lain yang menderita rabun jauh sering disebut dengan bocah matane cadhok alias anak yang tidak bisa melihat jauh. Anak-anak ini tidak dilihat sebagai seorang yang harus segera dibantu melalui terapi dan penggunaan alat bantu misalnya kacamata.
Lebih buruk dari itu, saya dianggap sebagai semacam beban karena akan membebani keuangan keluarga karena harus membeli kacamata, yang saat tahun 90-an itu nilainya sangat mahal bagi keluarga kami.
Kenapa saya akhirnya membuka rahasia rabun jauh ini?
Saya menyadari bahwa ada sesuatu yang salah di mata kiri saya, sewaktu saya kelas 4 SD. Saat itu kelas sedang kosong pelajarannya, dan secara tidak sengaja saya main menutup mata kanan kiri bergantian dengan buku, sambil kipas-kipas karena cuaca yang panas.
Saat itu, saya menemukan fakta, kok mata kiri saya saat melihat papan tulis terasa agak sedikit berbayang. Berbeda dengan apa yang saya alami di mata kanan saya (yaitu terasa normal-normal saja). Saya memutuskan untuk berdamai saja, karena toh saya masih bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas, meski dari meja paling belakang.
Hal tersebut berlangsung hingga kelas 1 SMP.
Saat saya kelas 1 SMP, saya merasakan bahwa mata kiri saya terasa kabur level agak parah saat saya melihat tulisan di papan tulis, meskipun saat saya duduk di bangku barisan agak tengah di kelas. Saat itu saya memutuskan untuk selalu duduk di barisan nomer 2 dari depan. Mata kanan? Masih sanggup membaca meski agak sulit. Kelas 1 dan 2 berlangsung tanpa masalah.
Masalah penglihatan mulai datang
Saya mulai mendapatkan masalah saat kelas 3 SMP. Saat itu kami diwajibkan untuk menggeser tempat duduk setiap hari dengan cara pindah ke kiri dan mundur satu baris. Oke, saya akan mendapatkan masalah.
Saya tak kurang ide. Saya meminta teman sebangku saya untuk tetap duduk paling tidak di bangku ke 2-3 dari depan, dengan cara menukar tepat duduk dengan teman yang di depan tadi. Hal tersebut berjalan hanya sekitar dua bulan. Kenapa?
Karena kami ketahuan oleh wali kelas.
Kami dinilai curang karena selalu ingin duduk di bagian depan atau agak depan. Oke, kami terpaksa mengikuti aturan geser tempat duduk tadi sebagaimana normalnya. Petaka datang saat hari selasa, ada pelajaran matematika yang diampu oleh Bu Goku (ya, kami menyebut nama beliau begitu, karena suaranya mirip dengan tokoh Goku – Dragon Ball).
Saat itu Bu Goku menjelaskan tentang salah satu pelajaran yang sayangnya saya lupa, mirip-mirip aljabar lah. Setelah beliau mencontohkan cara mengerjakannya, beliau membuat soal dan memanggil secara acak nama murid untuk menjawab dari jarak jauh (tempat duduk).
Hingga akhirnya nama saya disebut.
“Ari, soal ini bagaimana langkah mengerjakannya?” Tanya Bu Goku.
“… Ehm, tidak tahu Bu.” Jawab saya
Bu Goku dengan nada tinggi marah: “Maju sini kamu.. Kerjakan di depan”.
Saat saya maju, tentu saya bisa membaca soal tersebut dan menuliskan di papan tulis langkah untuk menjawab sekaligus jawabannya. Dan hasilnya benar.
Ibu Guru yang solutif
Kemudian Bu Goku (B) dengan nada heran bertanya ke saya (A):
B: “Kamu bohong, ya? Katanya tadi tidak bisa?”
A: “Ehm, ternyata bisa dhing Bu..”
B: “Hayo, jawab terus terang, kenapa tadi kamu bilang kalau tidak bisa menjawab?”
A: “Saya tadi tidak bisa membaca soalnya, Bu” Jawabku, agak takut-takut.
B: “Lho kamu tidak bisa melihat dari bangku di baris tengah itu?” Kenapa nggak periksa ke dokter mata?”
A: “Saya takut ..Bu”
B: “Kan tidak akan disuntik?”
A: “Saya takut matur Bapak. Beliau pasti akan marah besar saat tahu kalau saya cadhok (rabun jauh).”
B: “Ya kan memang harus pakai kacamata. Sudah, Ibu kasih waktu 1 minggu kamu matur Bapak. Kalau tidak, minggu depan Ibu yang panggil Bapak ke sekolah”
Oh ternyata, Ibu Goku sangat paham tentang pentingnya kesehatan anak didiknya, dalam hal ini mata saya.
Galau dan takut lapor orang tua
Saat itu, rasanya ini adalah masalah yang paling berat yang harus saya hadapi. Saya bingung. Hingga akhirnya, saya 3-4 kali gagal menyampaikan ke Bapak perihal ini. Hingga akhirnya hari Minggu sore, saat saya memegangi ayam jagonya Bapak, saya matur.
“Pak, aku kayaknya mataku perlu kacamata deh Pak”
Bapak kaget: “HEH, Kok BISA?” Katanya dengan nada keras.
Setelah kuceritakan urut kejadian di sekolah, benar dugaanku. Bapak marah besar. Katanya, saya terlalu banyak nonton TV dan membaca buku komik dan bukan belajar. Sebagai hukuman, TV hanya dinyalakan saat berita saja (yaitu saat Bapak menonton).
Besok paginya, saya diajak ke Balai Pengobatan (BP), untuk bertemu dokter umum sebelum dirujuk ke dokter mata. tetapi dokter umum tersebut (Dr Netty), memberi saya vitamin A 10 butir dan diminta untuk kembali ke BP minggu depannya.
Selama satu minggu itu, Ibu di rumah dan mbak Anna, membuatkan semangkok sayur bening yang berisi aneka sayuran untuk saya setiap hari. Tak lupa, amarah dari Bapak jadi santapan tiap hari. Saya merasakan, takut banget dan bagai serpihan kain perca yang tidak berguna. Semacam aib banget gitu lah saya merasakannya, waktu itu.
Akhir Drama
Setelah satu minggu penuh “dengan siksaan makan sayur” – Bahkan mbak Anna selalu memberikan aku wortel kupas untuk dikunyah-kunyah… dan itu Hyiekkk… rasanya. Karena saya bukan tipe anak yang suka makan sayur.
Hingga ahirnya saya dirujuk ke dr spesialis mata. Hasilnya, Minus 2.75 mata kiri dan minus 1,5 mata kanan. Dan akhirnya saya pun memakai kacamata. Oh iya, kacamata pertama saya adalah pilihan Bapak saya. Frame warna emas yang berukuran besar. Alasannya, biar mudah melihat. Tapi percayalah, itu sebenarnya nggak saya sukai. Lagi-lagi karena saya sebagai anak, tidak kuasa menolak perintah ortu. Hahahaha.
Blunder kesehatan anak versi Ortu jadul dan solusinya
Setelah anda membaca cerita saya, tentu pandangan masyarakat tentang anak yang cadhok alias rabun jauh itu tidak perlu dimarahi atau ditakut-takuti bahwa itu hal buruk banget.
Sedih? iya. Andai dahulu sejak awal anak mau terbuka perihal kesehatan anak dengan orang tua (tanpa rasa takut kepada orang tua), maka masalah penglihatan saya akan tertangani lebih dini. Bahkan, bisa saja minus yang saya alami tidak akan sejauh ini.
Baca juga: Belajar menjadi orang tua cerdas ala film Searching (2018).
Pelajaran lain yang penting, keterbukaan dan kedekatan dengan anak menjadi PR penting bagi ortu. Menjadi dekat dengan anak, bahkan bersahabat dengannya akan sangat membantu mengetahui perkembangan kesehatan anak.
Semoga dengan bekal pengalaman ini, saya dan istri akan mampu mengurus Aria dan Arka, anak kami dengan lebih baik. Zaman yang berubah, menuntut ortu juga berubah ke arah yang lebih baik.
Bapak Ibu, matur nuwun pelajarannya. Kami sayang Bapak dan Ibu.
Bissmillah..
Leave a Reply