Memberi contoh toleransi yang ideal atau menunjukkan contoh intoleran, sering dianggap berbahaya. Apalagi, saat mengkritisi kebiasaan intoleran yang sudah lama mengakar. Tentu, saya mengambil resiko saat menulis cerita tentang ini. Tetapi, contoh-contoh yang saya sampaikan dalam tulisan ini apakah fakta? Ataukah hanya fiksi belaka? Selamat membaca!
Kasus #1: Apakah ini contoh toleransi?
Ada namanya Pak Bendot, salah satu pamong perumahan yang berlokasi di daerah kentang (kena tanggung). Mau dibilang masuk daerah kota ya belum, tapi disebut pedesaan ya bukan. Orang yang tinggal di dalam perumahannya pun beragam. Ada yang memang asli dari desa sekitar, ada juga yang memang dari kota dengan gaya hidup kekinian.
Statistik kasar menunjukkan bahwa sekitar 90% penduduk perumahan tersebut punya satu kesamaan: mereka pengantin baru + pasangan muda usia 25 tahun ++ dengan 1-2 anak. Sisanya sih para pensiunan usia 65-an dan mantan kontraktor (sebutan bagi pengontrak rumah) usia 50-an yang memang baru bisa membeli rumah.
Di dalam keseharian perumahan kentang ini, ada banyak hal-hal lucu. Kolaborasi dari greget terlalu pedulinya khas masyarakat desa dan sifat cuek milik masyarakat kota.
Misalnya, ada warga yang kebetulan kedatangan tamu beberapa orang sahabat, yang diterima hingga lewat jam 00:00 WIB. Saat masih asyik bercerita, ada Pak Bendot beserta rombongan peronda yang bertugas malam itu, mampir dan meminta tuan rumah segera menyuruh tamunya pulang. Alasannya, tidak sopan kalau bertamu hingga larut malam dan mengganggu lingkungan.
Debat kecil pun terjadi karena si pemilik rumah merasa tidak membuat keributan, tidak minum miras dan menerima tamunya pun di ruang tamu. Uniknya, justru para tamu lah yang merasa tidak enak hati dan mereka pun rela pamitan.
Selesai berkeliling perumahan, para peronda berkumpul di pos ronda. Karena merasa kedinginan, Pak Bendot iseng membakar sampah plastik, kertas hingga sandal. Bau karet yang terbakar, sangat kuat menusuk hidung di keheningan dini hari jam 01:00 WIB dan membuat beberapa orang warga terbangun. Mereka khawatir ada kabel listrik yang terbakar karena korsleting (hubungan pendek).
Akhirnya, mereka menemukan bahwa sumber bau itu dari luar rumah, tepatnya dari pos ronda.
Apakah mereka protes? Lucunya, tidak. Kenapa? Mereka tidak enak hati untuk ribut karena akan merusak hubungan dengan para peronda tadi. Mereka lebih memilih mengalah – meski menggerutu.
“Duh, jemuran udah gak kering seharian, masih ketempelan bau karet.” Contoh gerutunya – dalam hati saja.
Contoh #2 apakah ini intoleransi ?
Keesokan harinya, ada anaknya Pak Andre yang bernama Dek Melati (10 tahun), sedang bersemangat mengajak jalan-jalan pagi anjing coklat barunya, Browi.
Saat jalan – jalan itupun, Browi melepaskan hajat besarnya. Karena belum paham bahwa tahi-nya Browi harus disingkirkan, Dek Melati pun santai saja meninggalkan “ranjau” di jalan perumahan.
Setengah jam kemudian.
“Pokoknya, kalau sampai besok masih ada tahi anjing di jalan perumahan kita, aku racun anjingnya!!” ketik Pak Wijaya – yang juga salah satu pamong perumahan – di dalam grup WhatsApp perumahan.
Baca juga:
>>> Modus ibu-ibu perumahan menyerobot antrian bubur <<<
Membaca pesan tersebut, beberapa warga pun mulai terseret ikut melancarkan serangan kekinian. Mereka berdiskusi tentang najisnya tahi anjing, hewan anjingnya sendiri hingga sentilan-sentilan halus perihal sentimen kepada keyakinan tertentu.
Mereka lupa, bahwa di perumahan tersebut terdapat beragam pemeluk agama dan keyakinan – yang tentu saja semua warga tergabung di dalam grup WhatsApp tadi.
Di sela – sela diskusi, tiba-tiba ada seorang warga yang mengirim pesan di grup WhatsApp.
“Pak Wijaya, tadi pagi ayam-ayamnya Pak Wijaya pas main ke garasi saya, ninggal telur nih. Silahkan diambil Pak.”
“Wah terima kasih, nanti sore saya ambilnya.” Jawab Pak Wijaya sang pemilik 10 ekor ayam, yang dilepas liar di kompleks perumahan.
Lucunya, para anggota grup WhatsApp tadi pun menjadi bersemangat nan berbahagia, menggoda Pak Wijaya. Mereka mengatakan bahwa nanti malam akan ada telor mata sapi gratis untuk warga dan lain sebagainya.
Para warga lupa satu hal bahwa rombongan ayam milik Pak Wijaya, pasti juga sering membuang tahi sembarangan, bahkan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Tapi itu tidak menjadi masalah sih. Ayam kan halal sedangkan anjing itu haram. Nah kan, Taek!
*kotoran ayam tu juga najis ya Pakdhe 🙂
Penerapan contoh toleransi di dalam masyarakat, ternyata tidak mudah ya?
———- T.A.M.A.T ———-
Kredit foto: amalangotongroyong
Kadang ada yang begitu sih. Orang cenderung sensi sama anjing, tapi baik-baik aja sama ayam. Hehe
Nah iya. Bener banget. Sampainya informasi separo-separo ya begitu, Mba.
walah, berat banget emang menjalankan toleransi. Jadi ketika akan melakukan sesuatu, berusaha untuk memperhatikan kepentingan orang lain juga.
Btw, theme wordpressnya keren 🙂
Iya mas Artha. Mungkin aku juga pernah sih, bertindak tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Semoga di dalam hidupku, tidak terlalu sering melakukan hal tersebut. Aamiin.
EH, jadi seneng ni dibilangin theme WP nya ok 🙂 Makasih yak!