Bekerja sesuai ijazah, merupakan impian dari hampir semua orang tua kepada anak-anaknya. Terlepas dari resmi atau tidaknya iklan salah satu pasangan calon Presiden RI untuk pemilu 2019, yang menunjukkan bahwa seorang lulusan jurusan tertentu (dalam iklan ini seorang sarjana arsitektur) yang menjadi merasa tidak bahagia, hanya karena bekerja di bidang yang tidak sesuai ijazah.
Dia bekerja “serabutan” mencoba banyak profesi mulai dari jadi petugas valet parking, fotografer hingga jasa layanan transportasi. Di dalam iklan tersebut, dia merasa bahwa orang tuanya terkesan tidak berkenan saat dia bekerja di luar keahlian akademiknya. Lantas, apakah di sekitar saya merasakan hal yang sama? Apakah isu tersebut merupakan hal yang krusial?
Bekerja sesuai ijazah, antara harapan orang tua dan realita
Sebelum kalian – pembaca blog aku – menarik kesimpulan awal yang prematur, perlu aku sampaikan bahwa saat ini aku bekerja di bidang yang 100% sama dengan apa yang aku pelajari saat di bangku kuliah. Jurusan yang aku pelajari adalah tanah, dimana kemudian aku bekerja sebagai peneliti di bidang pemupukan khususnya untuk perkebunan karet. Apakah dahulu, orang tua aku berharap aku mengambil kuliah jurusan tanah tersebut dan bekerja sebagai peneliti seperti saat ini? Jawabannya adalah tidak.
Orang tua aku merupakan orang tua jaman dahulu, yang boleh dianggap berpikiran kuno. Almarhum Bapak selalu berpendapat bahwa profesi yang paling sesuai untuk semua anak-anaknya adalah sebagai pegawai tetap, dengan gaji bulanan dan bekerja di balik meja yang mana kantornya tidak jauh dari rumah orang tua. Tentu dengan mengerjakan pekerjaan yang teratur, serta tidak perlu berpikir keras dalam mengembangkan karir. Istilahnya, beliau menginginkan kami-kami ini untuk bermain aman dalam bekerja.
Dari penjelasan aku di atas, kamu pasti tahu bahwa saat ini aku berada di jalur yang tepat sesuai dengan harapan orang tua. Hanya saja, kamu musti tahu bahwa aku kuliah di jurusan tanah tersebut merupakan suatu kebetulan yang sebenarnya tidak direncanakan. Bisa dibilang suatu kebetulan yang sudah ditetapkan oleh yang namanya takdir. Kenapa? Karena aku bekerja di “posisi aman” sesuai ijazah dan di kota yang hanya berjarak 50-an km dari rumah orang tua. Bahagia? Tentu saja.
Kembali ke isu yang aku taruh di dalam judul.
Apakah artis atau seleb itu sesuai bidang akademik mereka?
Dalam kenyataannya, perkembangan profesi yang saat ini berkembang, setahu aku adalah dunia kreatif, yang mana banyak pemain-pemain besarnya sering kali bukan berasal dari ijazah kuliahnya. Dalam dunia politik misalnya, apakah semua politisi yang wara-wiri di layar kaca dengan statement yang keren itu merupakan lulusan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik?
Apakah seorang Pandji Pragiwaksono yang merupakan jebolan jurusan desain, tidak becus dalam melawak satire dengan stand up comedy-nya? Apakah Tompi lebih dikenal sebagai dokter spesialis bedah plastik (ilmu dari bangku kuliahnya) dibanding dengan penyanyi jazz yang memiliki scat yang khas?
“Ah, contoh yang kamu sampaikan itu kan tokoh-tokoh besar, yang di sekitar kamu saja dong Ri. Ada nggak?” tanyamu.
Jangan khawatir, untuk singkatnya, aku ada tiga kategori contoh:
Pertama: contoh yang sudah mapan.
Ada teman sekelas aku, namanya mbak Hapsari, yang merupakan salah satu orang terpandai seangkatanku, dia mempunyai gelar akademik S2 di bidang eksak, tetapi justru saat ini menekuni bidang seni perhiasan kawat tembaga dan tempa, serta kemudian memiliki merek FiDa Art yang pasarnya sudah mendunia.
Kedua: contoh untuk yang baru memulai.
Aku mempunyai teman yang bernama Kak Novi, dia merupakan seorang guru tetapi juga mempelajari lettering, sebuah seni tulisan yang hasilnya enak dilihat dan unik. Bahkan, karyanya sudah dipercaya sebagai papan nama di salah satu cafe di Jawa Timur. Saat ini memang baru satu karya, tetapi aku yakin ini adalah permulaan baginya dan akan makin banyak di masa mendatang.
Ketiga: contoh untuk yang belum memulai tetapi punya potensi.
Aku mempunyai keponakan yang bernama mas Rayyan, saat ini dia merupakan pelajar SD di salah satu sekolah favorit di kota Solo, yang juga senang mempelajari kaligrafi, di luar jam sekolahnya. Mas Rayyan ini mengikuti lomba tentang kaligrafi, yang mana memang belum menang di tingkat provinsi, tetapi dia sudah menang di tingkat kota. Saat tahu tentang capaian mas Rayyan, aku pun langsung ngobrol dengan mamahnya (yang mana dia kakakku), aku menceritakan bahwa skill mas Rayyan ini jangan sampai hilang, tetapi perlu didorong untuk dikembangkan. Bahkan, aku sebagai orang yang tidak mengerti seni dan beberapa kawanku pecinta seni pun sepakat, hasil karya mas Rayyan ini sebenarnya pun saat ini sudah laku dijual, lho.
Ketiga contoh di atas merupakan siapa-siapa saja yang aku kenal secara personal, ternyata memiliki sesuatu diluar dari lembar ijazah mereka. Tentu di luar itu ada banyak contoh, misalnya ada banyak teman yang sekarang sudah sukses di bidang kuliner, atau bahkan istriku (pemilik gelar S1 yang sama persis dengan aku) yang saat ini kami pun sudah mempunyai salon kecil sendiri di rumah kami yang mana pendapatan dari salon tersebut lumayan lah untuk jajan. 🙂
Mana yang lebih baik: bekerja sesuai ijazah atau tidak?
Kita sampai pada bagian akhir tulisan. Kesimpulan tentang mana yang lebih baik atau tidak antara bekerja di bidang yang sesuai dengan ijazah, hanya bisa dijawab oleh kamu sendiri. Kamu lebih merasa puas bekerja di bidang yang mana, maka itulah jawabannya. Sehingga setiap orang bisa berbeda jawabannya.
Kemudian, apa respon kamu Ri, tentang iklan yang menampilkan orang yang dianggap tidak bekerja ideal karena tidak sesuai ijazah?
Jawabanku adalah:
Bekerja itu adalah dengan hati yang riang dan tidak harus sesuai ijazah. Kalau kamu sampai tidak menemukan pekerjaan, artinya kamu hanya tidak mau susah, ingin hasil instant, atau kamu tidak kreatif sama sekali sehingga kamu menganggur.
Saat ini ada banyak sekali kesempatan bekerja, hanya saja kamu kamu ambil atau tidak. Mau ganti Walikota, Gubernur atau Presiden 100x pun kamu musti cari dan temukan pekerjaan sendiri.
Terus, apabila orang tua kita menganggap bahwa sia-sia sudah menyekolahkan arsitek misalnya, tetapi kok justru bekerja sebagai fotografer? Kita harus bagaimana? Tetap bekerja sebagai fotografer demi passion atau banting stir mencari pekerjaan yang benar-benar sesuai ijazah?
Saya setuju dengan pendapat dari Mas Pinot (seorang animator dan illustrator yang super keren) ini:
Selama hobi/passion belum bisa memberi makan, tetep mesti kerja beneran, bukan sampingan. Ditekuni, demi kenyaman batin sampai akhirnya mungkin akan ada kesempatan datang. https://t.co/6syFA19ZH4
— Pinot (@pinotski) May 24, 2018
Penutup
Mungkin kamu bertanya-tanya, tentang respon orang tua bagaimana? Kamu harus pintar meyakinkan orang tua bahwa yang penting adalah kamu mapan secara finansial terlebih dahulu dan syukur-syukur sesuai passion. Apabila belum sesuai passion pun, saat nanti kamu sudah mapan, kamu boleh kejar yang sesuai passion kamu. Tetapi tetap disiplin yak!
Percayalah, saat kamu sudah sukses dan mapan, kamu mau coba-coba hal atau hobi apapun, gak akan ada yang protes.
Saat kamu sukses, kentutmu pun terdengar sangat bijak dan menginspirasi.
– Kata sumber online sih Jack Ma, tapi perlu cross check lebih kanjut.
Selamat berjuang!
Sama, saya juga lulusan psikologi, eeeh.. ternyata kerjanya malah nyasar
jadi psikolog #eh
Nanya serius. Psikolog kalo jatuh cinta, apa ya kacau gitu mood-nya.. atau bisa lempeng-lempeng aja, mas Anggie?
Ya sama saja seperti manusia lainnya, justru orang yang kalau jatuh cinta terus hidupnya lempeng-lempeng aja itu bukan psikolog
hihiihi,… noted .. noted..
Mewakili yg masih tersirat nih mas. Semoga banyak orang tua yg lebih terbuka tentang hal ini. ?
Betul. Tantangan utama itu meyakinkan orang tua (dan seringkali pasangan kita), saat akan mencoba jalur pekerjaan yg ‘lebih menantang’.