
“Mas Ari, tolong jelaskan apa itu hukum minimum Liebig”.
Hananto Hadi, 2007
Sampai dengan detik ini, aku masih ingat betul, kalimat di atas tersebut ditanyakan oleh Pak Han, salah satu pewawancara utama tes masuk kerja, sekaligus kepala kantor tempatku bekerja sejak 2007 (dan insyaAllah hingga nanti aku pensiun..aamiin).
Daftar Isi
Apa itu hukum minimum Liebig
Jujur, agak lupa-lupa ingat tentang Liebig.
Tetapi, ingatanku melayang ke suatu gambar tong air yang dibentuk oleh bilah-bilah kayu yang berbeda-beda tingginya. Pada tiap bilah ada tulisan unsur-unsur, tetapi aku sama sekali tidak ingat apa saja isinya. Kira-kira, seperti inilah:
Kemudian, aku menjawab pertanyaan Pak Han tadi hanya dengan logika yang disambung-sambungkan saja, dengan inti bahwa sesuatu itu akan selalu setinggi apa faktor pembatasnya. Beliau puas dengan analogi pada contoh-contoh yang kusampaikan. Mungkin inilah yang dinamakan tidak menghafal tetapi memahami.
Halah! Padahal sebenarnya aku hanya beruntung pernah melihat dan mendengarkan saat kuliah kimia tanah yang menayangkan transparant OHP waktu itu doang. Dosennya pun lupa, apakah bu Yayuk (Sri Rahayu Utami) atau siapa. Duh maafkan muridmu ini wahai Bapak Ibu Dosen …
Contoh kasus di Pertanian
Penjelasan gampangnya, tanaman yang memerlukan unsur N, P, K dan Mg misalnya, tetapi kekurangan N, maka tidak peduli bagaimana terpenuhinya P, K dan Mg … maka tanaman tersebut hanya bisa tumbuh dan berkembang hanya setinggi potensi pemenuhan unsur N-nya saja.
Pusing? Oke aku beri contoh yang kekinian.
Contoh kasus di dunia digital
Handphone Android saja misalnya. Tidak peduli berapa tinggi (GHz) processor-nya, berapa besar (GB) storage-nya, apabila RAM-nya hanya 500 MB saja, ya bakalan nge-lag kalau dipakai beberapa aplikasi yang jalan bareng. Bahkan, bisa jadi hanya untuk me-load OS Android-nya saja sudah engap dengan RAM sekecil itu. Istilah lainnya adalah bottleneck.
Hukum Minimum Liebig di Kehidupan Manusia
Nah, ternyata, di kehidupan manusia (menurut pandangan awam aku) juga memiliki sesuatu yang mirip dengan penjelasan ilmiah tentang hukum minimum Liebig di atas. Ibaratnya, manusia itu selalu memiliki faktor pembatas yang membuat dirinya (atau orang di sekitarnya) menderita, meski faktor-faktor lain sudah terpenuhi.
Misalnya nih, gak usah banyak-banyak contohnya. Aku masukkan 3 parameter saja: uang, anak dan waktu. Maka kemungkinan apa yang akan terjadi di kehidupan manusia?
- Punya uang dan anak tetapi tidak ada waktu.
Anak akan tumbuh di kehidupan yang berkelebihan harta, biasanya orang tua akan memenuhi segala keinginan si anak beli makanan, minuman, gadget dsb. Anak akan kehilangan waktu berharga bersama orang tuanya dan merasa kesepian. - Punya uang dan waktu tetapi tidak punya anak.
Saat bersama pasangan punya uang dan waktu tetapi tidak mempunyai anak, maka kehidupannya akan terasa sepi, meski rumahnya bisa diisi dengan aneka perabotan dan gadget kekinian. Di awal, bisa seperti pacaran terus, makan di sana sini atau beli ini itu. Tetapi di jauh dalam benak, mereka kesepian. - Punya anak dan waktu tetapi tidak punya uang.
Ketika orang tua memiliki anak dan waktu tuk berkumpul, tetapi nyaris tidak punya uang dalam hal ini selalu minus setiap bulan, apa yang akan terjadi? Mereka memang tidak akan kesepian, tetapi rawan berantem karena memang uang itu penting meski bukan terpenting.
Kemudian, bedanya tanaman dengan manusia adalah pada SIFAT RAKUS.
Ada juga tipe khusus manusia yaitu ketika punya uang, anak dan waktu … tetapi rakus alias tetap saja merasa kurang. Kemudian, ada yang merasa kurang meski sudah memiliki sekian rumah, mobil dsb. Lain orang pun ada yang merasa kurang istri, kurang posisi jabatan dan lain sebagainya. Selain itu, juga ada manusia yang maunya menang sendiri, gak peduli dengan orang lain.
Adakah manusia ideal yang punya semua hal?
Kembali ke kondisi yang saya sampaikan di atas, memang terasa tidak ada yang ideal. Semuanya memiliki kelemahan. Eh, tapi kan namanya manusia memang penuh dengan kekurangan. Aku pun merasa bukan seorang suami yang cukup baik, karena terlalu lama berada di tempat yang berbeda dengan anak-anak dan istri. Semua itu karena ada kesalahan fatal dalam memilih dan melaksanakan strategi.
Semoga kita semua bisa meminimalkan kekurangan sehingga bisa lebih berbahagia. Misalnya aku sendiri saja lah, aku ingin banget menjadi seorang Ayah dan suami yang melindungi secara fisk dan bathin untuk Aria Arka dan istri. Ada banyak rencana, yang semoga sebentar lagi bisa terlaksana. Aamiin.
Untuk pembaca yang sedang bersedih karena hidupnya terlalu berat, lihatlah ke bawah maka kamu akan melihat ada banyak yang lebih menderita dibanding kamu.
Yang pasti, kita semua tidak boleh berhenti!
Ya ini sebenarnya salah satu faktor yg membuat manusia selalu membandingkan dirinya dengan oranglain, karena secara alami kita miliki kekurangan yg ternyata itu terpenuhi pada diri oranglain. Jujur, aku sebenarnya baru kenal istilah hukum Liebig ini wkwkw. New knowledge ini 🙂
Istilah hukum minimal Liebig ini ya populer di kalangan mahasiswa pertanian saja sih mba. Tapi pas itu, kupikir-pikir kok bisa mirip dengan kehidupan sehari-hari.
Manusia emang suka gak puas ya mas,
Yg masih gadis liat temennya yg sudah merid, “enak ya udah merid punya anak bla bla”
Yang udah merid liat temennya “enak yahh masih bisa janjalan kemana aja”
Terkadang melihat orang selalu tampak indah, padahal kita gak tau aja keburukan yang dialaminya. Intinya sih harusnya bersyukur
Musim hujan kehujanan ngeluh minta terang. Musim kemarau kepanasan debu minta hujan.
Manusia, mbak.
saya selalu yakin kalau hidup seseorang itu berbeda2 kisahnya dan punya sisi kebahagiaan sendiri2. kita memang penuh kekurangan tapi bisa menutupi dg kelebihan yg kita miliki. yah saya kasih kuliah kehidupan deh
Thanks mbak Artha udah sharing.
Btw kalau berkenan sharing lebih panjang dan ada artikelnya, aku mau mbak baca.
Turut mengaamiinkan. Hehe iya ya, makasih kalinat penutupnya mas Ari, jadi diingatkan untuk melihat ke bawah 🙂
Alhamdulillah.
Sebagai seorang suami, saya juga belum masuk dalam kategori baik, karena masih banyak banget kekurangan yang masih belum bisa terpenuhi. Apapun itu, hampir dalam semua aspek.
Tapi aku selalu mensyukuri apapun yang sudah menjadi kehendakNYA. Betul apa yang Mas Ari katakan, tidak ada yang ideal. Setiap insan pasti memiliki kekurangan, dan jauh dari kata sempurna. Tapi setiap insan juga pasti berusaha keras untuk mencapai lebih baik lagi.
Semoga kita semua diberikan keberuntungan dan selalu mensyukuri apa yang telah diberikanNYA.
Aamiin… Aamiin.
Serius baru sekarang dengar istilah liebig. Ngomong-ngomong, berandai-andai seandainya semua ideal, semua terpenuhi. Apa bisa ya benar-benar bahagia?
Tetep aja bakalan kurang, mbak.
Aku punya beberapa temen yang kayanya ibarat bersin aja keluar duit. Bapak Ibu lengkap. Punya waktu ama suami n anak. Itu aja sering gak bahagia. ahahhaa.
Aduh, sampai setengah tulisan saya salah baca judul. Kirain itu “meninum” ternyata “minimum”. Jadinya bingung, lah ramuan pupuk kok diminum? Hukumnya jelas haram lah, berbahaya. Eh, ternyata minimum toh. Yah, memang segala sesuatu itu sudah ada takarannya. Ada hal yang Tuhan lebihkan buat kita, ada pula yang dikurangkan. Maka beruntunglah orang yang mengetahui kekurangannya dan menanganinya dengan baik
Ahahahhaa… mas.. ngopi yuk mas.
Kuncinya bersyukur ya mas? Apapun koondisi ketika syukur sudah menjadi pegangan diri semua bisa diatasi. Tapi ya susah, butuh level keikhlasan tinggi untuk bisa menerima semua kondisi. Yang penting terus bergerak dan tidak pantang menyerah. Tfs…
Iya mbak. Bersyukur itu tidak semudah yang terlihat. Berbahagia dengan segala pencapaian hidup itu udah paling nikmat sih, kalau aku.
Akan selalu ada yg kurang dalam hidup. Tapi masalahnya hidup sudah sempurna justru karena ketidaksempurnaan itu sendiri, kang. Aku jadi inget nih pas temanku tanya, gimana kondisi keluargaku saat ini. Eh, kok spontan aku jawab semacam: keluarga bahagia tapi nggak sejahtera 🤣🤣🤣
Tosss..
Kali ini postingan yang kita share serupa mas ari.. curhat kehidupan… bedanya mas ari membawa sebuah pembatas dalam cerita kehidupan… ada uang, anak dan waktu… harus ada pembatas (kalau di ekonomi constraint istilahnya) kalau tidak kisah sesuatu menjadi terlalu sempurna. Memang bisa saja sich, hanya saja nanti namanya akan berubah menjadi anomali atau standar deviasi (di stastistik) bener ga… seseorang punya banyak uang, dan dihadiahi anak yg lucu dan pintar plus cukup waktu berbagi waktu dengan keluarganya..
Iyaaa ni Bang.. lagi pengen share cerita2 di waktu itu yg masih relevan sekarang…
Orang melihat kami, sering komen, “Enak ya anak² udah beres”…Kalau dipikir, kalau saya, pembatasnya justru di waktu itu sendiri. Ibaratnya kan kami menghabiskan ‘sisa’ waktu yg ada dengan berbuat apa lagi? Huhu…koq syedih…
Pada akhirnya, setelah kita mengorbankan salah satu, tetep aja orang melihatnya cuma luarnya ya mba.
Hahahaha. ^I’ve been there mba, di skenario yang beda tapi.