Disclaimer: Saya menulis ini berdasarkan rasa yang saya miliki. Bisa jadi anda memiliki perasaan yang berbeda dengan apa yang saya rasakan. Tidak perlu ditanggapi panas, saya hanya menuangkan pendapat saya.
Suatu hari, ada sahabat yang memberi tahu ke saya suatu postingan di medsos (SocMed), dimana user tersebut (sebut saja si Derkuku) bangga bereuforia layaknya sehabis menang perang, karena capaian alumni dari almamater S1-nya si Derkuku ini cukup banyak yang menjadi pejabat-pejabat penting. Bagaimana dengan almamater si Podang, yang alumni-alumninya “hanya” mendapat posisi jabatan di bawah alumni almamaternya si Derkuku? Apakah terus menjadikan si Derkuku lebih memiliki harga diri dibanding si Podang? Terus bagaimana pendapat saya?
Lah, kenapa sih masih di kotak-kotakkan alumni x, y atau z? Kenapa tidak bersatu saja? Kenapa begitu penting sih, menjadi pembela (buta) almamater.., yang hasilnya bisa jadi memecah belah?
Lhoh mas bro… kok beda almamater saja bisa menjadi pemecah belah? Menurut saya, itu sangat mungkin. Ya saya tahu, apapun yang terjadi di dunia ini sejatinya memang tidak (pernah) mudah. Siapa yang memiliki koneksi lebih kuat dan hidup, maka orang tersebut akan mendapat kesempatan yang lebih besar untuk sukses. Koneksi itu bisa jadi salah satunya adalah ikatan alumni almamater yang kuat. Menurut saya itu rejeki dari si alumni tadi.
Wah kalau begitu.. hidup ini keras dan sering terasa tidak adil dong ya? Jangan ngedrop begitu dong.. yang harus diingat, bukan kita yang memaksa dunia agar menjadi lembut, tetapi kita yang harus menjadi lebih keras. Karena tidak semuanya bisa kita dapatkan dengan mudah.
Kalau menyitir caption di meme yang kekinian:
Jangan berdoa agar diringankan masalahmu, tetapi mintalah agar pundakmu dijadikan lebih kuat
Nah terus maksud tulisan ini apa?
Ya bagi anda yang kebetulan mendapatkan keberuntungan menjadi alumni dari perguruan tinggi yang alumninya banyak sukses, bersyukurlah .. tetapi tidak perlu bersikap merendahkan alumni dari almamater lain. Untuk yang almamater lain pun juga sama, tidak perlu merasa rendah diri. Anda hanya perlu bangun dan menunjukkan bahwa anda mampu lebih baik.
Bagaimana ketika melamar pekerjaan? Apakah interviewer akan membantu pelamar yang se almamater dengan interviewer?
Jawaban atas pertanyaan ini seperti bajaj yang sedang ngebut.. Hanya si sopir dan Tuhanlah yang tahu kemana bajaj akan berbelok. Artinya, akan sulit membuktikan hal ini, apalagi kalau terjadi di ruang wawancara yang segala sesuatunya itu confidential. Lagipula, dalam wawancara, penilaian biasanya dilakukan dengan metode kualitatif misalnya dari visi pelamar, cara problem solving dari si pelamar, like and dislike dengan attitude si pelamar hingga klik dan tidaknya (adanya chemistry) antara pelamar dan interviewer dan lain sebagainya.
Kembali lagi ke awal.. kenapa sih meributkan alamamater bisa memicu perpecahan?
Asalkan orang-orang mampu berpikir lebih panjang, pembicaraan perihal beda almamater ini bisa ditanggapi dengan santai bahkan guyon. Misalnya:
“Eh alumni dari almamaterku lho banyak yang jadi kepala daerah dan komisaris perusahaan besar”.. kemudian ditanggapi guyon ama temannya “Eh kalo yang koruptor itu, alumni dari perguruan tinggi mana, ya?” Kok kamu gak bikin daftarnya juga?
Tetapi bagi yang berpola pikir “militan”, diskusi beda almamater ini bisa berujung pertengkaran hingga saling memutuskan tali pertemanan. Kenapa begitu? Karena masih banyak masyarakat sekitar kita itu mudah dan (maaf) suka dengan pengkotak-kotakan.
Jangankan kok beda perguruan tinggi, yang satu perguruan tinggi tapi beda fakultas saja bisa berantem kok.. misalnya pas awal-awal masa penerimaan mahasiswa baru seperti OPSPEK (atau nama lainnya). Silahkan googling sendiri ya contohnya..
Nah, terus yang satu fakultas, apakah mereka dijamin rukun? Belum tentu. Sesama fakultas saja tetapi beda jurusan bisa juga memicu persaingan yang sering tidak sehat. Misalnya perebutan ketua BEM fakultas hingga Dekan. Bisa jadi ada rasa gengsi lah, kalau misalnya dosen jurusan X yang secara dua periode beruntun terpilih menjadi Dekan, bisa jadi membuat dosen jurusan lain menjadi merasa “inferior“.
Nah kalau yang satu jurusan, apalah dijamin rukun? Belum tentu juga.. Bisa jadi, antar dosen di satu jurusan saja tidak akur.. Biasanya disitu sih karena konflik dosen junior yang maju atau bahkan terlalu maju dan senior yang tidak mau dilangkahi juniornya.. Atau konflik antar dosen senior yang entah apa sebabnya di masa lalu mereka. Terus yang jadi korban siapa, kalau dosen dalam satu jurusan aja tidak akur? Ya pasti mahasiswa lah.
Misalnya nih, dosen pembimbing 1 adalah dosen junior yang maju visinya. Dosen pembimbing 2 adalah dosen senior yang tidak mau dikalahkan sama si dosen junior tadi. Terus hasilnya? Yaa… skripsi mahasiswa bakalan “revisi pingpong” lah gak beres-beres.
Begitulah, pengalaman dari saya yang bukanlah seorang dosen ini pun mirip. Di dalam perkantoran manapun bisa jadi ada hal-hal yang agak mirip-mirip lah dengan yang saya ceritakan di atas.
Kesimpulannya: Dibawa selow dan dipikir santai saja setiap perbedaan ini dan tidak usah terlalu memegang gengsi. Kata orang bijak yang sepuh itu, rejeki tiap orang tidak akan tertukar kok. Tapi.. rejeki tetap perlu dikejar.
Salam damai
Selamat sore, selamat hari Kartini
Hat Yai, 21 April 2017
benar sekali , rezeki harus dikerjar kita tidak bisa diam aja nunggu tanpa melakukan apa apa…
Iya.. semoga kita selalu dimudahkan dan diberikan keberuntungan dalam mengejar rejeki. aamiin.